Ekonom: RI Bisa Resesi, Tapi Tidak Akan Depresi
Rabu, 02/09/2020 - 16:23:54 WIB
JAKARTA, WARNARIAU.COM -- Jurang resesi ekonomi RI menganga. Potensinya makin membesar setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks harga konsumen (IHK) deflasi dua bulan berturut-turut, yaitu Juli sebesar 0,10 persen dan Agustus 0,05 persen.
Namun, Ekonom UI Ari Kuncoro mengatakan kalau pun RI divonis resesi, tidak berarti hal itu menjadi mengerikan. Toh, Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang terpukul akibat pandemi virus corona (covid-19).
Malah, Ari mengisyaratkan resesi ekonomi yang dialami RI tergolong ringan. Hal itu tercermin dari kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga minus double digit yang dialami banyak negara.
"Kalau mau bilang resesi, ok. Pertumbuhan negatif bisa dikatakan resesi. Tapi, kalau pakai data PDB plus lain-lain, negatifnya tidak terlalu besar, dan yang lain (data) membaik. Ada proses perbaikan, keluar dari resesi. Kayak lubang, mau naik ke atas, tapi masih di dalam lubang," ujarnya kepada wartawan, Rabu (2/9).
Ia juga menampik tanda-tanda depresi ekonomi atau tekanan ekonomi lebih parah menyusul potensi resesi di depan mata.
"Kalau depresi tidak. Ada negara lain yang lebih buruk dan kita punya perekonomian. Jadi, kalau resesi, iya mungkin. Kalau depresi, tidak," tegas Ari.
Pandangan berbeda disampaikan Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara. Ia menyebut resesi hampir pasti terjadi yang tercermin dari terpukulnya permintaan atau daya beli masyarakat.
Secara tahun berjalan (year to date), BPS mencatat inflasi 0,93 persen pada Agustus 2020 atau 1,32 persen secara tahun ke tahun (year on year). Hal ini, menurut Bhima, patut diwaspadai, mengingat rendahnya permintaan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
Sebab, hal tersebut menunjukkan permasalahan besar, yaitu hilangnya pendapatan masyarakat rentan.
Di sisi lain, masyarakat yang memiliki daya beli, yaitu kelas menengah ke atas memilih untuk mengirit pengeluaran mereka karena tingginya ketidakpastian.
"Kelas menengah atas tidak pede (percaya diri) untuk belanja karena pandemi masih jadi ancaman. Ini saja sudah jadi indikasi kita akan mengalami resesi pada kuartal ke III," lanjut Bhima.
Jika kondisi ini berkepanjangan, ia khawatir angka pengangguran melonjak. Begitu pula dengan jumlah penduduk miskin. Hitung-hitungannya, tingkat pengangguran tahun ini akibat PHK dan korban dirumahkan menembus lebih dari 15 juta orang.
Sementara, tingkat kemiskinan diramal naik dari catatan BPS pada Maret lalu, yaitu 9,78 persen, menjadi 12 persen hingga 16 persen pada akhir tahun ini.
Karenanya, pemerintah harus mencermati konsumsi yang merupakan kontributor utama pertumbuhan. Termasuk juga, penyaluran berbagai stimulus dan bansos.
Jika pemerintahan Presiden Jokowi tak mampu memenuhi kedua syarat mutlak pemulihan ekonomi, maka kondisi benar-benar pulih akan membutuhkan waktu sampai 3-4 kuartal. "Ini tergantung pada respons pemerintah," ujarnya.(CNN Indonesia)
Komentar Anda :