KOMISI Pemilihan Umum di berbagai daerah pasti memiliki banyak fakta dan cerita tentang ketidak jujuran pihak-pihak tertentu." />
www.warnariau.com
12:34 WIB - Cegah Karhutla, Awal April BNPB Bakal Lakukan TMC di Riau | 08:39 WIB - Pemko Pekanbaru Masih Tunggu Persetujuan Formasi PPPK 2024 dari Pusat | 08:34 WIB - Pemko Pekanbaru Serahkan LKPD 2023 Tanpa Tunda Bayar | 08:28 WIB - 2.426 Mahasiswa Ajukan Permohonan Bantuan Beasiswa ke Pemko Pekanbaru | 08:24 WIB - Pemko Pekanbaru Koordinasi ke BPJN Soal Jalan di Depan Pasar Buah | 13:51 WIB - Bapenda Pekanbaru Salurkan Santunan Anak Yatim di Masjid Nurul Falah
Jum'at, 29 Maret 2024 | Jam Digital
Follow:
 
Waspadai "Perampokan Suara" dalam Pilkada
Sabtu, 16/07/2016 - 00:55:41 WIB

WARNARIAU.COM - KOMISI Pemilihan Umum di berbagai daerah pasti memiliki banyak fakta dan cerita tentang ketidak jujuran pihak-pihak tertentu, baik dalam Pemilu maupun dalam Pilkada. Ketidak-jujuran yang akan berujung pada terampasnya hak seseorang untuk menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Terutama jika dibiarkan oleh penyelenggara yang tidak memiliki keberanian moral untuk menegakkan kerbenaran substantif.
  
Saya, dan 4 komisioner lainnya di KPU Pekanbaru, punya pengalaman betapa seorang calon legislatif berupaya merampok suara kawan-kawannya sendiri, agar dia lolos menjadi anggota dewan. Modus operandinya bisa saja terjadi dalam Pilkada yang saat ini tengah berlangsung. Oleh karena itu para calon dan para saksi harus amat teliti dan amat kritis, baik di TPS, PPK maupun diKPU, agar tidak dirugikan oleh orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
   
Saat Pemilu 2009 untuk memilih Anggota Legislatif, sebagaimana di KPU lainnya di Indonesia, kami di KPU Kota Pekanbaru ada lima orang komisioner. Yusri Munaf (Ketua) dan empat lainnya anggota:  Makmur Hendrik, Fachri Yasin, T. Rafizal dan Neni Astuti.
   
Saya semula benar-benar hakkul yakin, bahwa politisi yang akan duduk di DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi dan DPR RI akan sesuai dengan akumulasi suara yang mereka peroleh dari TPS di wilayah pemilihannya.
   
Keyakinan saya itu didasari pada dua hal. Pertama, saat menghitung suara di TPS ada tiga orang petugas TPS, ada (paling sedikit) 5 saksi mewakili parpol dan atau mewakili politisi yang ikut pemilihan. Kedua, setiap anggota KPU sampai petugas di TPS mengucapkan sumpah akan bertugas secara benar, adil dan jujur. Satu dari kedua alasan itu saja sudah tidak memiliki celah untuk mencurangi hasil pemilu.
   
Hanya butuh waktu sebulan sejak pemungutan suara dimulai, untuk sampai pada fakta bahwa "keyakinan" saya di atas adalah sesuatu yang amat naif! Saya menemukan fakta, seberapa banyakpun saksi yang hadir, sumpah atas nama Tuhan sekalipun yang dilafalkan, petugas yang curang karena tergoda uang akan tetap menjalankan aksinya. Akibatnya, orang  yang sebenarnya terpilih denbgan suara terbanyak bisa terjungkal, dikalahkan oleh orang yang memiliki suara seidikit namun menyebar uang untuk merobah perolehan suara.
  
Secara sederhana ceritanya begini: Setelah suara dari TPS direkap di KPPS dilanjutkan ke  PPK. Hasil rekap PPK diteruskan ke KPU Kota untuk dilakukan rekap akhir. Dua hari setelah rekap di KPU, kami sudah memiliki daftar nama siapa saja dari setiap parpol yang akan duduk menjadi anggota DPRD Kota Pekanbaru. Daftarnya sudah hampir pasti.
   
Kendati daftar perolehan suara yang direkap di KPU belum diumumkan, namun orang sudah tahu siapa saja yang akan menjadi anggota legislatif. Hal itu dimungkinkan karena rekapitulasi penghitungan suara mulai dari TPS, PPS, PPK maupun KPU Kota dilaksanakan secara terbuka dan dihadiri saksi parpol dan atau saksi yang ditunjuk oleh politisi yang mencalonkan diri. Artinya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, rekapitulasi boleh dihadiri siapa saja.
   
Sehari setelah rekapitulasi di KPU Pekanbaru datang dua orang mengadu. Satu dari pasrtai A (sebut saja begitu). Satu dari partai B.  Mereka membawa catatan perolehan suara mereka dari semua TPS di mana mereka  mencalonkan diri. Kedua mereka, menurut catatan perolehan suara per TPS yang mereka miliki yang ditanda tangani oleh Anggota TPS dan para saksi, seharusnya lolos menjadi anggota legislatif.
   
Kepada kami mereka menyampaikan, berdasar hasil rekap di seluruh TPS di wilayah mereka mencalonkan diri, jumlah suara yang mereka peroleh melebihi untuk satu kursi. Namun ketika rekap di KPPS jumlah suara mereka melorot amat jauh, sehingga tak mungkin menjadi anggota dewan.
   
Kasmi terperangah. TPS, PPS, PPK berikut para saksi sudah bertanda tangan, dan KPU Pekanbaru juga sudah melakukan Rapat Pleno Rekapitulasi, dan hasilnya juga sudah ditandatangi bersama. Putusan pleno tak bisa diganggu gugat lagi. Mengapa mereka tidak protes saat rekapitulasi di PPS atau di PPK? Padahal peluang itu dibuka oleh peraturan perundang-undangan. Protes mereka ke KPU Pekanbaru sudah terlambat.
   
Kendati pintu bagi mereka berdua secara formal sudah tertutup, namun kami berlima merasa gelisah. Ada orang yang sebenarnya amat berhak menjadi anggota legislatif, namun karena dicurangi oleh rekannya sesama anggota parpol yang sama, kemudian ditambah dengan komisioner yang kaku menjalankan amanah undang-undang, hak orang tersebut dirampas orang lain dengan cara sangat tidak terhormat. Si perampas akan mejadi "anggota  yang terhormat" yang samasekali tidak patut dihormati.
   
Kalau untukmenjadi anggota dewan saja dia tega "melindas" kawan separpolnya, sungguh tak terbayangkan bagaimana sikapnya kelak kala duduk menjadi wakil rakyat. Bisa dipastikan apapun akan dialakukan demi kepentingan pribadinya. Berdasar "kebenarana prosedural" mungkin dia berhak menjadi wakil rakyat. Tapi hati nurani kami berkata, selain kebenaran prosedural bukankah yang paling dasar adalah kebenaran substantif?
   
Kami akhirnya secara bulat berpihak pada hati nurani. Atas kesepakatan bersama, Yusri Munaf selaku Ketua memerintahkan agar kotak suara dari seluruh TPS dimana kedua orang itu mencalonkan diri dibawa ke KPU. Tindakan ini merupakan hal yang tidak lazim. Biasanya hanya kotak suara hasil rekapitulasi di PPK saja yang dibawa ke KPU Kota.
   
Namun kami sudah bertekad, kebenaran harus ditegakkan. Kami lalu memeriksa rekapitulasi di tiap TPS. Apa yang kami temukan? Pengaduan kedua orang dari partai yang berbeda itu ternyata benar adanya! Kami menemukan hasil rekapitulasi di TPS berbeda dengan yang disampaikan KPPS ke PPS!
   
Bagaimana modus operandinya? Begini: Jumlah calon Partai A di kecamatan X (misalnya) 7 orang. Calon No. 1 mendapat suara 8 (delapan),  calon no.2 (7), calon no.3 (24), calon no.4 (35), calon no.5 (66), calon no.6 (17), calon no.7 (18).    Total Partai A dikercamatan X meraih 175 suara. Katakanlah jumlah 175 itu cukup untuksatu kursi DPRD. Dari perolehan suara terbanyak dapat dilihat bahwa yang berhak atas satu kursi DPRD itu adalah Calon No. 5, yang memperoleh 66 suara. Artinya seluruh suara calon  No.1, 2, 3, 4, 6 dan 7 menjadi miliknya sebagai peraih suara terbanyak. Begitu peraturan yang berlaku saat itu (sistim proporsional terbuka).
   
Tapi kemudian, calon no. 6 berlaku curang. Menyogok oknum KPPS untuk merobah hasil rekapitulasi yang akan dikirim ke PPK. Atas persekongkolan oknum KPPS, angka rekapitulasi berubah menjadi (misalnya) calon no.1 tetap 8, calon no.2 tetap 7, calon no.3 dari 24 menjadi 14, calon no.4 dari 35 menjadi 15, calon no.5 dari 66 mernjadi 36, calon no.6 dari 17 menjadi 10, calon no.7 (pelaku kecurangan) dari 18 menjadi 85. Karerna suara calon no.7  yang terbanyak maka bisa dipastikan dialah yang akan dilantik menjadi anggota dewan.
   
Total perolehan suara Parpol A tak berubah, tetap 175! Perolehan suara Parpol A ini nampaknya dijaga untuk tak berubah, agar parpol lain tidak menggugat. Sebab umumnya semua parpol memiliki catatan tentang perolehan suara semua parpol di wilayah masing-masing. Artinya, pelaku mencurangi kawan separpolnya sendiri yang satu wilayah pemilihan dengan dirinya. Apa yang dialmai oleh pelapor dari Partai B sama persis seperti yang dilakukan oknum Partai A.
    
Melalui penyelidikan kami menemukan oknum KPPS yang "bermain" dengan oknum Parpol A maupun oknum Parpol B. Dia mengakui menerima sejumlah uang untuk merobah hasil perolehan suara tersebut. Oknum ini kemudian dipecat oleh Yusri Munaf selaku Ketua KPU Kota Perkanbaru.
   
Calon Terpilih
   
Temuan itu secara amat konsisten kami tindaklanjuti. Merlalui rapat pleno daftar Calon Terpilih Partai A dan Partai B kami revisi, disesuaikan dengan perolehan suara yang benar. Kedua oknum parpol yang berlaku curang itu kami likwidir, digantikan oleh calon yang memang berhak atas perolehan suara yang sebenarnya.    
   
Tindakan berpihak kepada kebenaran substantif itu kami eksekusi hanya dua hari sebelum calon terpilih diumumkan. Tidak berapa lama kemudian kedua politis dari Parpol A dan Parpol B yang pengaduannya kami usut sampai tuntas itu dilantik menjadi Anggota DPRD Kota Pekanbaru. Pasca Pemilu 2014 salah seorang diantara mereka terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi.   
   
Apakah tidak ada reaksi dari kedua anggota parpol yang kami likwidasi? Reaksi itu beruntun dan hampir setiap hari sejak kami melakukan pemeriksaan ulang atas kotak suara dari semua PPS di kecamatan terkait.
   
Hampir tiap hari mereka datang ke KPU Kota Pekanbaru. Mencari upaya agar hasil rekap di PPK yang menempatkan mereka serbagai "calon jadi" tidak dirobah. Upaya tersebut mulai dari bujukan dan meningkat jadi intimidasi kala "berbagai model" bujukannya tidak berhasil.
  
Yusri Munaf selaku ketua pastilah paling sering didatangi. Saya tidak tahu siapa saja komisioner lain yang mereka datangi. Namun ke ruangan saya mereka datang tak kurang dari empat kali. Baik secara bersama maupun sendiri-sendiri. Ketika dalam kalimatnya ada indikasi intimidasi, dengan tersenyum saya menatapnya dengan diam tapi tajam. Sampai akhirnya dia pamit dengan sikap menyerah. Barangkali diatahu, tatapan diam dan tajam saya seperti melontarkan tanya: "Apa Saudara takkan menyesal mengancam saya?"
    
Modus "mempermainkan atau merampok" perolehan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi di segala tingkatan rawan terjadi. Baik dalam Pemilu Legislatif maupun dalam Pilkada yang saat ini sedang berlangsung di berbagai Kabupaten/Kota. Total jumlah suara sekaliogus total jumlah pemilih dalam kasus kecurangan oknum Parpol A dan Parpol B sebagaimana diuraikan di atas samasekali tidak terganggu. Yang "dikerjain" hanya hasil perolehan suara, dengan mengurangi perolehan suara beberapa calon dan menambahkannya ke perolehan suara pelaku.
   
Dalam Pilkada kasus yang "sama tapi tak serupa" bisa terjadi. Oknum pelaksana yang curang (bisa petugas TPS, buisa petugas di kecamatan dan seterusnya) mengurangi perolehan suara calon A, B, C (jika calon lebih dari 2) lalu memidahkannya perolehan suara calon D. Jumlah pemilih sah, tidak sah dan yang tidak memilih takkan terganggu, karenanya takkan menimbulkan curiga. Namun perolehan suara para calon akan berubah.
   
Mungkin ada yang akan berpendapat, hal itu mustahil akan terjadi. Saya semula juga berpendapat begitu, sampai fakta kecurangan perlaksana pemilu di tingkat bawah disodorkan kepada kami. Menurut saya, selain dibutuhkan kejujuran para pelaksana, juga dibutuhkan keberanian untuk menegakkan kebenaran substansif, yang adakalanya tersembunyi di balik kebenaran prosedural.# Pekanbaru, September 2015.

Oleh Makmur Hendrik *)Mantan Komisioner
KPU Riau dan Pekanbaru





 
POJOK OPINI
KEJUJURAN HUKUM (AnW GROUP)
Membalik Logika! Oleh: Adlin S.Hut, Pemerhati Kebijakan Lingkungan
Opini Pilkada: "Antara Perspektif Anarkisme Dan Keadilan Sosial"
Membangun Pilkada Yang Bermatabat
Waspadai "Perampokan Suara" dalam Pilkada
Musibah Yang Di Alami Masyarakat Lipat Kain Jelang Lebaran
 
Follow:
Pemprov Riau | Pemko Pekanbaru | Pemkab Siak | Pemkab Inhu | Pemkab Rohil | Pemkab Kampar
Redaksi Disclaimer Pedoman Media Siber Tentang Kami Info Iklan
© 2016 Warna Riau | Inspirasi Baru Berita Riau, All Rights Reserved